Bila ingin lebih banyak belajar
teori dibanding prakteknya, Anda dapat memilih sekolah di SMU, sebaliknya di
SMK. Untuk jenjang yang lebih tinggi, Anda memperoleh lebih banyak teori untuk
kuliah di Universitas, sebaliknya dengan Politeknik atau Kejuruan.
Banyak di antara kita yang memahami bahwa teori
dan praktik berbeda jauh. Siapa pun
tidak akan mungkin dapat mengemudkan mobil karena belajar teorinya saja, tanpa
pernah praktik. “Hidupkan mesin, tunggu
beberapa saat sampai mesin cukup panas.
Injak pedal kopling, dorong tuas perseneling masuk ke gigi 1. Lepaskan pedal kopling perlahan-lahan sambil
menginjak pedal gas.” Begitu mungkin
bunyi petunjuk cara mengemudikan mobil.
Tanpa pernah praktik sendiri, nyaris mustahil seseorang akan dapat
mengemudikan mobil.
Begitu juga kita tidak akan dapat belajar
berenang (dan olahraga yang lain) hanya dengan belajar teori, kita harus praktek. Tanpa
teori, kalau ada orang yang langsung dimasukkan ke dalam kolam renang, kemungkinan apa yang akan terjadi?
Memang teori beda dari praktik. Bagaimana dengan keterampilan kita
bersyukur? Banyak orang yang akan
mengatakan bahwa dia adalah orang yang pandai bersyukur. Setiap hari dalam semua doa pribadinya tidak
lupa dia pasti mengucapkan syukur. Kalau
diminta memimpin doa, dia juga selalu pertama kali mengucapkan syukur atas
berkat yang diterimanya dari Tuhan.
Apakah itu termasuk teori atau praktik?
Praktik dong, kan sudah mengucapkan syukur. Menurut pendapat saya, itu masih teori, sebab
praktiknya adalah apa yang dilakukan sehari-hari, misalnya, ketika sedang hadir
dalam resepsi pernikahan.
Seseorang yang pandai bersyukur tidak akan
menyendok makanan ke dalam piringnya sampai membentuk “gunung” kecil,
mencicipinya 2 atau 3 sendok dan meninggalkannya di meja. “Tidak enak!” katanya. Tidak sadarkah dia bahwa sebutir nasi di
piringnya itu telah melewati jalan panjang?
Seorang petani, entah di mana, mulai mengolah sawahnya, mengairi,
mencangkul, menyebai bibit, memindahkan anakan padi, menyiangi, memupuk,
menjaga dari hama, memanen, mengeringkan, menggiling gabah, dan menjual
berasnya. Proses ini memerlukan waktu
sekitar 4 sampai 5 bulan. Beras dibeli
oleh pedagang besar, dimasukkan dalam karung, diangkut ke gudang, dikeluarkan
lagi dari gudang dan dikirim ke pasar.
Selanjutnya beras itu dibeli oleh usaha jasa boga, dimasak menjadi nasi,
dan nasi itu sudah ada di piring, siap disendok dan masuk ke dalam mulut.
Akan tetapi, karena pendapat “Tidak enak!” di
atas nasi itu akan dibuang ke tempat sampah dan entah dimakan tikus atau
binatang lain, atau membusuk sia-sia.
Apakah tindakan membuang makanan layak santap yang sudah siap dimakan
merupakan tindakan bersyukur? Tidak
sadarkah dia bahwa di banyak tempat di dunia ini ada orang-orang yang
kelaparan, yang tidak mendapat berkat berupa ada makanan yang siap disantap di
depannya. Seandainya orang tersebut
curiga “jangan-jangan masakan ini tidak enak”, alangkah bijaksananya dia kalau
mengambil sedikit dahulu untuk dicicipi, dan tidak membuang banyak makanan begitu saja. Di samping itu, dia tidak “menyerobot jatah”
tamu lain, yang mungkin bisa menikmati masakan yang dihidangkan. Kalau dia pandai bersyukur, tentunya da tidak
akan membiarkan ada makanan yang tersisa di piring makannya.
Bagaimana dengan sisi yang lain? Apakah kita pandai bersyukur atas berkat-Nya
berupa kesehatan, misalnya? Orang yang
bersyukur atas kesehatan tidak akan merusak kesehatan itu dengan sering begadang,
merokok, minum alkohol, menjadi pecandu narkoba, menyantap makanan yang tidak
sehat (banyak lemak), tidak berolahraga.
Orang yang bisa bersyukur atas rezeki yang
diterimanya tidak akan merasa iri hati (sekalipun hanya dalam hati) melihat
teman atau tetangganya membeli televisi baru, atau mobil baru, atau berlibur ke
luar negeri, karena dia merasa rezeki yang diterimanya cukup.
Orang yang pandai bersyukur atas berkat-Nya
tidak akan menyesali hidungnya yang kurang mancung, atau matanya yang kurang
lebar, atau pipinya yang terlalu mencolok, atau bibirnya yang kurang seksi,
atau badan yang kurang montok sehingga membeli jasa untuk “menyempurnakan”
penampilannya. Dia pasti sadar bahwa
penampilan yang cantik atau tampan itu palsu belaka.
Orang yang pandai bersyukur atas keluarga tidak
akan memikirkan orang lain untuk dijadikan pasangan barunya, karena biasanya
hanya didasari oleh dorongan nafsu belaka.
Hubungan keluarga yang harmonis, dinamis, saling menghormati, saling
menghargai akan jauh lebih menentramkan hati dibandingkan dengan bersanding
dengan pasangan baru yang lebih cantik atau lebih tampan.
Salam Takzim,
Bagus H. Jihad.
Sumber: Kiriman dari seorang sahabat (milis HR_Excellency)
seep gan//......
BalasHapusApanya yg seep Gan???
Hapussaya juga kadang khilaf om suka buang nasi kalo udah kekenyangan atau gak enak makananya, hemmm harus lebih nyadar lagi memang ,,mkasih om udah ngingetin
BalasHapusMakasih Jay...
HapusManusia memang tempat salah dan khilaf,
Kita saling mengingatkan ya?
ia om, senang bisa kenal dengan om ini yang suka ngingetin :)
HapusJay...saling mengingatkan adalah kewajiban seoang muslim terhadap muslim lainnya...
Hapuskomen back dan Followers back ya http://gniusbakhan.blogspot.com/2012/03/minyak-kayu-putih-dapat-meledakan-balon.html#comment-form
BalasHapusAnda komennya mana?
Hapuswah bener-bener kena nih postingan :)
BalasHapusNgena ke saya juga...
HapusMemang kayaknya sudah banyak akan kita yang lupa akan bersyukur, setidak-tidaknya untuk hari ini. Mereka terkadang lebih fokus memikirkan kekurangan dihari esok tanpa melihat apa yang sudah diberikan hari ini.
BalasHapusSebuah postingan yang inspiratif.
Salam Kenal,
@rie fabian
Ya, saya adalah orang yg paling sering lupa bersyukur akan karunianya.
HapusPadahal kalau kita selalu bersyukur, maka Allah sudah berjanji akan menambahnya, dan sebaliknya...
Ampuni aku dan banyak orang yang sepertiku ya Allah...Sesungguhnya Engkau adalah Zat yang Maha Pemaaf lagi Maha Mulia.