Jumat, 06 April 2012

Antara Teori dan Praktek

Bila ingin lebih banyak belajar teori dibanding prakteknya, Anda dapat memilih sekolah di SMU, sebaliknya di SMK. Untuk jenjang yang lebih tinggi, Anda memperoleh lebih banyak teori untuk kuliah di Universitas, sebaliknya dengan Politeknik atau Kejuruan.

Banyak di antara kita yang memahami bahwa teori dan praktik berbeda jauh.  Siapa pun tidak akan mungkin dapat mengemudkan mobil karena belajar teorinya saja, tanpa pernah praktik.  “Hidupkan mesin, tunggu beberapa saat sampai mesin cukup panas.  Injak pedal kopling, dorong tuas perseneling masuk ke gigi 1.  Lepaskan pedal kopling perlahan-lahan sambil menginjak pedal gas.”  Begitu mungkin bunyi petunjuk cara mengemudikan mobil.  Tanpa pernah praktik sendiri, nyaris mustahil seseorang akan dapat mengemudikan mobil.

Begitu juga kita tidak akan dapat belajar berenang (dan olahraga yang lain) hanya dengan belajar teori, kita harus praktek.  Tanpa teori, kalau ada orang yang langsung dimasukkan ke dalam kolam renang, kemungkinan apa yang akan terjadi?

Memang teori beda dari praktik.  Bagaimana dengan keterampilan kita bersyukur?  Banyak orang yang akan mengatakan bahwa dia adalah orang yang pandai bersyukur.  Setiap hari dalam semua doa pribadinya tidak lupa dia pasti mengucapkan syukur.  Kalau diminta memimpin doa, dia juga selalu pertama kali mengucapkan syukur atas berkat yang diterimanya dari Tuhan.  Apakah itu termasuk teori atau praktik?  Praktik dong, kan sudah mengucapkan syukur.  Menurut pendapat saya, itu masih teori, sebab praktiknya adalah apa yang dilakukan sehari-hari, misalnya, ketika sedang hadir dalam resepsi pernikahan.  












Seseorang yang pandai bersyukur tidak akan menyendok makanan ke dalam piringnya sampai membentuk “gunung” kecil, mencicipinya 2 atau 3 sendok dan meninggalkannya di meja.  “Tidak enak!” katanya.  Tidak sadarkah dia bahwa sebutir nasi di piringnya itu telah melewati jalan panjang?  Seorang petani, entah di mana, mulai mengolah sawahnya, mengairi, mencangkul, menyebai bibit, memindahkan anakan padi, menyiangi, memupuk, menjaga dari hama, memanen, mengeringkan, menggiling gabah, dan menjual berasnya.  Proses ini memerlukan waktu sekitar 4 sampai 5 bulan.  Beras dibeli oleh pedagang besar, dimasukkan dalam karung, diangkut ke gudang, dikeluarkan lagi dari gudang dan dikirim ke pasar.  Selanjutnya beras itu dibeli oleh usaha jasa boga, dimasak menjadi nasi, dan nasi itu sudah ada di piring, siap disendok dan masuk ke dalam mulut. 

Akan tetapi, karena pendapat “Tidak enak!” di atas nasi itu akan dibuang ke tempat sampah dan entah dimakan tikus atau binatang lain, atau membusuk sia-sia.  Apakah tindakan membuang makanan layak santap yang sudah siap dimakan merupakan tindakan bersyukur?  Tidak sadarkah dia bahwa di banyak tempat di dunia ini ada orang-orang yang kelaparan, yang tidak mendapat berkat berupa ada makanan yang siap disantap di depannya.  Seandainya orang tersebut curiga “jangan-jangan masakan ini tidak enak”, alangkah bijaksananya dia kalau mengambil sedikit dahulu untuk dicicipi, dan tidak  membuang banyak makanan begitu saja.  Di samping itu, dia tidak “menyerobot jatah” tamu lain, yang mungkin bisa menikmati masakan yang dihidangkan.  Kalau dia pandai bersyukur, tentunya da tidak akan membiarkan ada makanan yang tersisa di piring makannya.  



Bagaimana dengan sisi yang lain?  Apakah kita pandai bersyukur atas berkat-Nya berupa kesehatan, misalnya?  Orang yang bersyukur atas kesehatan tidak akan merusak kesehatan itu dengan sering begadang, merokok, minum alkohol, menjadi pecandu narkoba, menyantap makanan yang tidak sehat (banyak lemak), tidak berolahraga. 

Orang yang bisa bersyukur atas rezeki yang diterimanya tidak akan merasa iri hati (sekalipun hanya dalam hati) melihat teman atau tetangganya membeli televisi baru, atau mobil baru, atau berlibur ke luar negeri, karena dia merasa rezeki yang diterimanya cukup.

Orang yang pandai bersyukur atas berkat-Nya tidak akan menyesali hidungnya yang kurang mancung, atau matanya yang kurang lebar, atau pipinya yang terlalu mencolok, atau bibirnya yang kurang seksi, atau badan yang kurang montok sehingga membeli jasa untuk “menyempurnakan” penampilannya.  Dia pasti sadar bahwa penampilan yang cantik atau tampan itu palsu belaka. 

Orang yang pandai bersyukur atas keluarga tidak akan memikirkan orang lain untuk dijadikan pasangan barunya, karena biasanya hanya didasari oleh dorongan nafsu belaka.  Hubungan keluarga yang harmonis, dinamis, saling menghormati, saling menghargai akan jauh lebih menentramkan hati dibandingkan dengan bersanding dengan pasangan baru yang lebih cantik atau lebih tampan. 


Salam Takzim, 
Bagus H. Jihad. 
Sumber: Kiriman dari seorang sahabat (milis HR_Excellency)

12 komentar:

  1. saya juga kadang khilaf om suka buang nasi kalo udah kekenyangan atau gak enak makananya, hemmm harus lebih nyadar lagi memang ,,mkasih om udah ngingetin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Jay...
      Manusia memang tempat salah dan khilaf,
      Kita saling mengingatkan ya?

      Hapus
    2. ia om, senang bisa kenal dengan om ini yang suka ngingetin :)

      Hapus
    3. Jay...saling mengingatkan adalah kewajiban seoang muslim terhadap muslim lainnya...

      Hapus
  2. komen back dan Followers back ya http://gniusbakhan.blogspot.com/2012/03/minyak-kayu-putih-dapat-meledakan-balon.html#comment-form

    BalasHapus
  3. wah bener-bener kena nih postingan :)

    BalasHapus
  4. Memang kayaknya sudah banyak akan kita yang lupa akan bersyukur, setidak-tidaknya untuk hari ini. Mereka terkadang lebih fokus memikirkan kekurangan dihari esok tanpa melihat apa yang sudah diberikan hari ini.

    Sebuah postingan yang inspiratif.

    Salam Kenal,
    @rie fabian

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, saya adalah orang yg paling sering lupa bersyukur akan karunianya.

      Padahal kalau kita selalu bersyukur, maka Allah sudah berjanji akan menambahnya, dan sebaliknya...

      Ampuni aku dan banyak orang yang sepertiku ya Allah...Sesungguhnya Engkau adalah Zat yang Maha Pemaaf lagi Maha Mulia.

      Hapus

Pembaca yang BUDIMAN, Sudilah kiranya Anda meninggalkan pesan/komentar terkait artikel yang Anda baca, atau mengenai Blog ini. Terima kasih dan Salam Takzim.

Artikel Terkait