Jumat, 16 Desember 2011

Alhamdulillah Saya Pernah Sakit Keras


Tulisan ini, sebagai renungan menjelang akhir tahun 2011 pagi pembaca Mimpi Siang Bolong, tulisan ini tentu saja saya tujukan khusus buat saya, agar bisa lebih bersyukur kepada Allah yang telah memberikan segala kehidupan sampai detik ini. Karena di dalam setiap kejadian, pastilah ada hikmah dan rencana dariNya. 

Alhamdulillah saya pernah sakit keras, tulisan ini, saya nukil dari "Catatan Dahlan Iskan", yang ditulliskan pada tanggal 1 Desember 2011 yang lalu. Kalau kita sih, biasanya mengucapkan Alhamdulillah ya...baru dapat rezeki. Alhamdulillah baru saja ditraktir Om Bagus, atau segala macam Alhamdulillah lainnya, bila mendapatkan kesenangan. Tapi pernahkan kita mengucap Alhamdulillah saat mengalami musibah? Bagaimana Dahlan Iskan dapat demikian?


Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang membuat saya tidak mungkin lagi aktif memimpin Jawa Pos selama hampir dua tahun. Alhamdulillah saya pernah sakit keras! Yang mengakibatkan saya harus lebih banyak berada di luar negeri sehingga jauh dari posisi kepemimpinan di Jawa Pos.

Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang mengakibatkan saya dilarang bekerja keras dan dilarang menjadi pemimpin No 1 di Jawa Pos. Kalau saja takdir tidak seperti itu, barangkali saya masih terus bercokol di Jawa Pos sampai hari ini, memimpin Jawa Pos dengan gaya saya, lalu ditertawakan oleh yang muda-muda. Sakit keras saya secara tidak langsung membawa implikasi percepatan proses regenerasi di Jawa Pos. Saya dipaksa untuk rela meninggalkan kekuasaan yang hampir mutlak di Jawa Pos itu. Saya juga dipaksa untuk menjalankan apa yang sudah sering saya kemukakan sendiri sebelumnya: percayalah kepada generasi muda!

Tanpa saya sakit keras, barangkali saya akan dicatat sebagai pemimpin yang punya cacat besar: selalu menganjurkan regenerasi tapi dirinya sendiri terus bercokol. Sakit keras saya membuat saya konsekuen terhadap doktrin saya yang selalu saya dengungkan: hanya anak muda yang bisa membawa kemajuan. Orang-orang Jawa Pos Group hafal dengan doktrin tersebut lantaran begitu seringnya saya kemukakan.

Sebenarnya saya sudah berlatih untuk kehilangan kekuasaan sejak lama. Saya sudah berhenti menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos atas inisiatif saya sendiri ketika umur saya masih 36 tahun. Saya sudah minta berhenti sebagai pemimpin umum Jawa Pos ketika umur saya ’’baru’’ 38 tahun. Sayangnya, he he, sayangnya, saya meninggalkan jabatan itu karena sudah mendapat jabatan yang lebih tinggi. Misalnya, karena sudah menjadi direktur utama di hampir 100 perusahaan Jawa Pos Group.

Tapi, tidak sepenuhnya begitu. Suatu ketika, saya juga memutuskan untuk berhenti dari semua jabatan direktur utama di semua anak perusahaan Jawa Pos Group. Tujuan saya: biar yang muda-muda di berbagai daerah itu yang menjadi direktur utama di setiap perusahaan setempat. Saya melengserkan diri saya dari jabatan direktur utama untuk menjadi chairman saja di semua anak perusahaan tersebut.

Ketika salah seorang direksi bertanya mengapa tiba-tiba minta berhenti dari semua jabatan direktur utama, saya hanya menjawab dengan sangat enteng, "saya ingin merasakan bagaimana kehilangan jabatan yang begitu banyak, sekaligus".

Tapi, ternyata saya belum kehilangan apa-apa. Berhenti dari jabatan Dirut, saya masih menjadi chairman. Karena itu, dua tahun kemudian, saya memutuskan untuk juga berhenti dari semua jabatan chairman di semua anak perusahaan tersebut. Dengan langkah itu, saya tidak punya jabatan apa pun di semua anak perusahaan. Saya ingin kembali merasakan bagaimana kehilangan jabatan yang begitu banyak.
Sekali lagi, ternyata saya tidak bisa kehilangan jabatan. Meski secara formal saya bukan siapa-siapa lagi di semua perusahaan itu, ternyata teman-teman di seluruh Indonesia tidak berubah sikap terhadap saya. Sampai-sampai, saya harus sering memberi tahu bahwa saya ini sudah bukan pemimpin Anda-Anda. Kata-kata saya jangan lagi dituruti dan jangan lagi dianggap perintah.
Rupanya, semua itu ada hikmahnya. Saya menjadi sudah terbiasa kehilangan jabatan. Karena itu, ketika akhirnya sakit keras dan harus meninggalkan jabatan di induknya pun, tidak ada perasaan owel (istilah Jawa, sulit merelakan, Red) sama sekali. Saya bisa menjalani pengobatan saya dengan perasaan yang longgar dan sikap yang sumeleh, tawakal kepada-Nya.

Pindahlah kepemimpinan Jawa Pos kepada yang jauh lebih muda.
Dua tahun saya sakit.
Dua tahun saya di luar negeri.
Dua tahun saya nonaktif.
Ternyata, semua baik-baik saja. Di tangan anak-anak muda, bahkan Jawa Pos terus maju dan kian maju. Justru di tangan yang muda-muda itu Jawa Pos mencapai lebih banyak prestasi, seperti menjadi koran terbaik di jagat raya ini.

Alhamdulillah saya akhirnya sembuh.
Alhamdulillah saya tidak punya keinginan ’’merebut’’ kembali jabatan itu.
Alhamdulillah saya segera punya tekad baru: ingin menjadi guru jurnalistik untuk lembaga pendidikan apa saja, sambil ikut mengurus pesantren di desa saya.

Sambil terus menyaksikan dari jauh kemajuan dan kemajuan yang diraih generasi baru di Jawa Pos.
Sungguh menyesal seandainya saya punya pikiran: tanpa saya Jawa Pos bukan apa-apa! Sungguh menyesal seandainya saya punya sikap: tanpa saya Jawa Pos tidak akan bisa apa-apa!

Memang pernah ada majalah yang menulis artikel dengan judul ’’Jawa Pos adalah Dahlan Iskan dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos’’. Tapi, dalam perjalanannya, judul itu telah terbukti berlebihan dan mengada-ada.
Alhamdulillah, duh Gusti, saya pernah sakit keras! (*)

Dahlan Iskan

Semoga bermanfaat, dan kita dapat mengambil hikah dari setiap kejadian. Salam Takzim.

6 komentar:

  1. Assalamualaikum pak haji... Salam kenal. Link blog anda sudah saya pasang di sidebarblog saya id-bagus.blogspot.com mohon pasang balik link saya http://yurosie.blogspot.com/2011/12/century-21-broker-properti-jual-beli.html dengan text Century 21. Di sidebar blog anda. di tunggu kunjungan balik dan kabar baikny. Salam kenal.

    BalasHapus
  2. @Jeck:
    Wa 'alaikum salam, nanti akan saya kabari.

    Salam Takzim.

    BalasHapus
  3. Alhamdulillaah saya belum pernah sakit keras, Mas Bagus. Saya tidak perlu sakit keras seperti Dahlan Iskan untuk meninggalkan jabatan yang tidak tinggi atau pun mempercayakan komunitas kepada yang muda-muda.

    BalasHapus
  4. @kombor:
    Hikmah dapat kita ambil dari setiap kejadian. Dahlan Iskan mengambil hikmah setelah dirinya sakit.
    Tetapi ada yang tidak mengambil hikmah dari kejadian, misalnya Diktator Timur Tengah yang terjungkal kemarin...
    Anda sangat bijaksana Kang Kombor, sedikit orang yang mampu berbuat seperti anda.

    Salam Takzim.

    BalasHapus
  5. wahh, pengalaman yg bagus tuh.
    tapi saya gk ingin sakit dahulu untuk mendapatkan pengalaman bagus. dgn membaca begini smoga saya sudah mendapat pelajaran berharga. :)

    BalasHapus
  6. @Resolusi Juara 2012:
    Semoga anda medapatkan kemudahan menjalankan Resolusi Juaran anda di tahun 2012.

    Thengkiyu dan Salam Takzim.

    BalasHapus

Pembaca yang BUDIMAN, Sudilah kiranya Anda meninggalkan pesan/komentar terkait artikel yang Anda baca, atau mengenai Blog ini. Terima kasih dan Salam Takzim.

Artikel Terkait