Minggu, 17 Juli 2011

Kepemimpinan Sejati


[Baguse-rek]  “Bangsa ini punya orang atau penguasa formal, seperti presiden atau gubernur, tetapi tidak memiliki pemimpin sejati. Ada pemerintah, tetapi pemerintahannya sudah tidak dipatuhi, sehingga dikatakan pemerintahan sudah berhenti.” Suara dari TV itu membuatku berhenti membaca, dan menarikku duduk di depannya. Rupanya siaran ulang Orasi Kebangsaan oleh Buya Syafii Ma’arif pada peringatan ulang tahun Surya Paloh Ketum Ormas Nasional Demokrat di Gd. Perintis Kemerdekaan Jakarta (16/7).

Selanjutnya Buya mengatakan,”
Pemimpin di negeri ini absurd, perintah 50% tidak dijalankan. Jangan mengeluh dong. Kenapa ini, apa penyebabnya? Apa perintahnya tidak masuk akal atau anak buahnya tidak patuh lagi? Kalau anak buah sudah tidak patuh, bisa dikatakan, kepemimpinan sudah berakhir”.
“Tajam, sangat tajam dan berani. Untunglah bukan di jaman ORBA, kalu tidak mungkin Buya sudah “dijemput”. Mungkin bukan hanya Buya Syafii yang dijemput, tapi penggagasnya, pendengarnya dan tidak mungkin bisa kuikuti siaran ulangnya,”gumamku.

Sesudahnya, kubuka direktori file laptopku, karena aku ingat pernah menyimpan file yang berkaitan dengan kepemimpinan. Butuh waktu cukup lama sampai aku menemukannya, dan seperti yang tertulis berikut ini!




Kepemimpinan versi John Maxwell
          Banyak orang merasa menjadi pemimpin pada saat sebuah tanda jabatan disematkan di dadanya, dan ia dilantik oleh pejabat di atasnya. Sementara ternyata dalam kesehariannya ia hanya memimpin dengan sebuah buku, yaitu yang namanya buku peraturan, dimana Ia hanya mau tanda tangan dan menyetujui kegiatan kalau rule nya ada di buku. Kata orang ia adalah orang yang jujur dan taat perintah. Praktis hampir tak pernah ada kesalahan yang ditimpakan kepadanya, karena ia adalah orang yang benar-benar taat aturan. Mereka jumlahnya cukup banyak, dan tentu saja benar bahwa mereka adalah pemimpin, namun yang membedakan mereka dengan yang lain tentu adalah tipenya, sebab untuk menjadi pemimpin dibutuhkan lebih dari sekedar aturan, melainkan juga terobosan dan respek.


5 Peringkat Pemimpin
John Maxwell membuat peringkat pemimpin dalam 2 level. Orang yang dibicarakan di atas benar adalah pemimpin, tetapi baru sekedar pemimpin di atas kertas, yaitu pemimpin level satu. Pemimpin yang sempurna adalah pemimpin level 5, yaitu pemimpin yang dituruti, karena direspeki. John Maxwell menggunakan 5 level pemimpin (5P) yaitu Position, Permission, Production, People Development, dan Personhood. Masing-masing akan dibahas berpasangan dengan produknya, yang disebut Maxwell sebagai 5R, yaitu Rights, Relationships, Results, Reproduction dan Respect.
Pada pemimpin level 1, seseorang dituruti semata-mata karena position nya. Ia duduk di sana karena ia memegang hak tertulis (rights). Orang-orang mengikutinya, karena suatu keharusan. Celakanya, semakin lama ia berada di posisi itu akan semakin mundur organisasi. Organisasi akan ditinggalkan oleh karyawan-karyawan kelas satunya yang menyukai terobosan dan laku di pasar. Sementara itu morale kerja merosot drastis dan image sebagai organisasi yang disegani tak lagi terdengar, malah sebaliknya.
Pemimpin ini sebaiknya segera memperbaiki diri. Ia bisa menapak naik ke pemimpin level 2, yang disebut permission (sedikit di atas otoritas). Ia tidak melulu mengacu pada peraturan tertulis, melainkan mulai menghargai orang-orang yang melakukan terobosan sebagai warna yang harus diterima. Orang-orang pun senang dan menerima kepemimpinannya bukan lagi semata-mata karena rights, melainkan relationship. Mereka mengikuti karena mereka menghendakinya. Tetapi kalau cuma sekedar relationship saja, dan orang-orang merasa senang maka ia bisa menjadi pemimpin yang populis, yang anak-anak buahnya tidak terpacu untuk maju.
Oleh karena itu, idealnya seorang pemimpin naik lagi ke pemimpin level 3, yaitu maju dengan kompetensi dan memberi hasil yang dapat dilihat secara kasat mata. P ketiga ini disebut production, dan orang-orang di bawahnya mau mengikuti kepemimpinannya karena results, yaitu hasil nyata yang tampak pada kesejahteraan mereka dan kemajuan organisasi. Pemimpin pun senang karena pekerjaannya dengan mudah diselesaikan oleh orang-orang yang dedikatif, bekerja karena momentum. Biasanya level tiga ini berdampingan atau tipis sekali batasnya untuk melompat ke level empat. Ini hanya soal kemauan berbagi saja dan relatif tidak sulit karena hasilnya ada dan bukti-buktinya jelas. P ke 4 ini disebut people development dan hasilnya diberi nama reproduction.

Pemimpin level 4 adalah pemimpin langka yang bukan cuma sekedar memikirkan nasibnya sendiri, melainkan juga nasib organisasi. Ia tidak rela sepeninggalnya ia dari organisasi, lembaga itu mengalami kemunduran, maka kalau ia tak bisa memilih sendiri pengganti-penggantinya, ia akan memperkuat manajer-manajer di bawahnya agar siapapun yang menjadi pemimpin organisasi akan terus bergerak maju ke depan. Tentu saja tidak mudah mendeteksi pemimpin tipe ini selain dari apa yang ia lakukan untuk mengembangkan calon-calon pemimpin. Biasanya kita baru bisa menyebut Anda berada pada level empat kalau Anda sudah pensiun, sudah tidak duduk di sana lagi. Pada waktu Anda meninggalkan kursi Anda, maka baru bisa kita lihat apakah orang-orang yang dihasilkan benar-benar mampu meneruskan kemajuan atau malah mundur. Tentu saja maju-mundurnya organisasi paska kepemimpinan Anda sangat ditentukan oleh pemimpin berikutnya, tetapi kita dapat membedakan dengan jelas siapa yang membuat ia maju atau mundur.
Kepemimpinan level 5 ini oleh Jim Collins disebut sebagai pemimpin dengan professional will dan strategic humility. Kepemimpinan ini disebut sebagai spiritual leader yang tampak dari perilaku-perilakunya yang merupakan cerminan dari pergulatan batin dalam jiwanya (inner voice). Orang-orang seperti ini tidak mencerminkan kebengisan, melainkan ketulusan hati. Ia bisa saja mengalami benturan-benturan, tetapi semua itu bukanlah kehendaknya pribadi. Orang yang baik hati seperti Gandhi saja ternyata juga dicaci maki dan dibunuh, tetapi satu hal yang jelas, ia diikuti oleh banyak orang karena dirinya dan apa yang ia suarakan. Mereka patuh karena respek. Mereka tahu persis bahwa bahaya terbesar akan terjadi kala mereka mulai populis, yaitu ingin disukai semua orang ketimbang direspeki.



5 LEVEL KEPEMIMPINAN SEJATI

          Sebuah perusahaan di Jepang, sedang merugi besar. Masalahnya, saham perusahaan juga anjlok karena perusahaan sparepart otomotif ini, mencoba untuk terjun ke bisnis properti. Tanpa pegalaman serta orang-orang yang handal serta ditimpa krisis dunia, akhirnya perusahaan ini nyaris rontok. Saham perusahaan anjlok dan banyak  karyawan yang marah serta menyalahkan pimpinannya.
          Akhirnya, pertemuan antara pimpinan serta para karyawanpun dilakukan. Rata-rata karyawan sudah siap untuk menyerang dan menjatuhkan si pemimpin mereka yang dianggap bertanggung jawab atas kesalahan pengambilan keputusan itu.
          Ketika si pimpinan masuk, tidak ada sambutan tepuk tangan. Bahkan tidak ada penghormatan. Namun, ketika diberikan kesempatan untuk bicara. Si pimpinan perusahaan, serta merta berlutut ke lantai, membungkukkan badannya dalam-dalam dan berkata, "Saudara-saudara sekeluarga di perusahaan ini. Saya minta maaf. Saya sungguh ingin minta maaf. Saya telah mengambil keputusan yang salah yang menyebabkan saham perusahaan kita anjlok. Tetapi, jika diijinkan, saya akan melakukan langkah apapun yang diperlukan untuk membangun kejayaan perusahaan kita kembali, Saya bersedia membayar ongkosnya dengan kerja keras saya".  Serentak, semua karyawan tertunduk, ikut membungkuk dalam-dalam dan banyak diantaranya yang menangis!
          Kisah di atas punya banyak kemiripan dengan kisah yang diceritakan oleh Martin L.Johnson dalam buku Chicken Soup for the Soul at Worl, yang berkisah tentang CEO Pioneer Hi-Bred Interneational, yang gara-gara membeli Norand, sebuah usaha teknologi informasi, akhirnya jutsru merugi besar. Dan, hal yang tak pernah terlupakan bagi karyawannya, adalah tatkala, dengan rendah hati, Tom Urban, CEO-nya meminta maaf dengan tulus serta mengambil tanggung jawab atas kesalahannya. Itulah contoh-contoh kepemimpinan yang sungguh menginspirasi.

Lima Level Kepemimpinan
          Pertanyaan paling pokok disini adalah, bagaimanakah kita bisa sampai ke level kepemimpinan yang bisa menginspirasi banyak orang? John C. Maxwell, salah seorang guru kepemimpinan yang telah mengajarkan jutaan pemimpin di dunia tentang kepemimpinan mempunyai jawabannya. Ia membagi kepemimpinan menjadi lima level yang harus dilewati. Menurutnya, jika kepemimpinan itu diibaratkan seperti anak tangga, maka terdapat lima tangga utama yang harus dilewati oleh para pemimpinan di dalam organisasi. Cobalah Anda evaluasi dan refleksikan, bagaimanakah posisi kepemimpinan Anda maupun orang-orang di sekitar Anda. Dan yang paling penting, coba perhatikan sampai di level manakah kepemimpinan Anda saat ini?
          Level pertama, adalah level posisi (position). Inilah level kepemimpinan yang paling rendah. Pada dasarnya, orang mengikuti Anda karena 'kebetulan' mereka tidak punya pilihan sebab Andalah yang dipercaya untuk memegang posisi tersebut. Pada level ini, otoritas seorang pemimpin hanya terbatas di posisi ini. Bawahan merasa hanya perlu berinteraksi sekedar hanya untuk mendapatkan tanda tangan dan persetujuan. Tetapi, di level ini, banyak bawahan tidak merasa betul-betul dimiliki oleh atasannya, sehingga tak heran dibelakang mereka sering mengata-katai boss mereka ini. Saya pernah mendapatkan sebuah email, dari seorang peserta training yang berkisah tentang boss-nya, "Pak, saya di perusahaan consulting. Pimpinan saya diangkat karena jualannya bagus dan sangat pandai negosiasi. Tapi, kami tidak pernah respek karena dia sendiri nggak pernah menganggap kami. Ia maju sendiri dan marah kalau dari kami ada yang kontak dengan pimpinan. Semua harus lewat dia. Di kantor, ia memiliki kami tapi hati kami tidak bersama dia". Pada kenyataannya, ada banyak pemimpin yang bertahun-tahun di posisi ini, tetapi tetap tidak pernah naik ke level berikutnya.
          Nah, pada level berikutnya, atau level kedua, adalah level dimana telah terjadi hubungan dan kesediaan (permission). Disinilah orang mulai mengikuti bukan karena 'harus' tetapi karena mereka 'ingin'. Di level inilah, pengaruh Anda sebagai pimpinan mulai kelihatan. Sebenarnya, ketika memasuki level ini, sudah terjadi kontak batin serta mulai ada chemistry antara orang yang dipimpin dengan yang memimpin. Proses interaksi mulai terjadi dan hubunganpun mulai terbangun. Hanya saja, jika seorang pemimpin terlalu lama di tangga ini, bisa jadi ia menjadi sangat populer di mata bawahannya, hubungannya baik tetapi hasil dan output-nya bisa jadi kurang memuaskan. Itulah sebabnya seorang pemimpin tidak boleh terlalu lama di tangga ini.
          Tangga kedua ini sebenarnya mengingatkan kita pada Edward Liddy, mantan Chairman dan CEO AIG, yang reputasinya anjlok setelah ia membagi-bagikan bonus besar kepada karyawannya. Di mata karyawan mungkin saja tindakan tersebut  dianggap populer dan ia pun disukai, tetapi secara bisnis langkah ini tentu saja tidak strategis. Masalahnya, untuk selamat saja, AIG konon harus menerima dana bailout dari pemerintah AS sebesar $84 miliar.
          Berikutnya, level ketiga dari kepemimpinan adalah level menghasilkan (production). Kalau level kedua banyak berbicara mengenai pandangan tentang Anda di mata karyawan level ketiga ini mulai berbicara mengenai pandangan Anda di mata manajemen. Masalahnya, disinilah orang mulai melihat bagaimana output team yang Anda hasilkan, setelah Anda mulai memimpin suatu tim. Jika seorang pemimpin sudah berhasil samapi di level ini, maka selain terdapat kontak batin yang baik antara pemimpin dengan anak buahnya, juga terdapat hasil yang bisa dibanggakan.
          Kemudian, level berikutnya adalah level pengembangan orang (People Development). Disinilah, seorang pemimpin tahu bahwa ia tidak bisa menjadi sukses sendirian, atau hanya dirinya yang  mampu sementara anak buahnya bergantung adanya. Dalam level inilah, maka seorang pemimpin mulai banyak meluangkan waktunya untuk melakukan proses coaching dan counseling ataupun mentoring untuk mendidik orang-orang dibawahnya agar mampu. Sayangnya, banyak pemimpin yang terlambat sekali tiba di level ini. Baru-baru ini, dalam acara makan malam dengan seorang CEO yang sudah tua, ia mengatakan, "Pak Anthony. Saya agak terlambat menyiapkan orang-orang untuk menggantikan saya. Sekarang, saya sudah sakit-sakitan. Saya mulai membagikan semua ilmu yang saya miliki untuk orang-orang yang diproyeksikan akan memimpin bisnis ini di masa depan. Saya tidak tahu, apakah waktu saya masih akan mencukupi untuk itu"
          Akhirnya, di ujung level kepemimpinan, terdapatlah level kepemimpinan yang tertinggi yang kita sebut sebagai level kepemimpinan yang sungguh menginspirasi (Personhood). Hebatnya kepemimpinan model ini adalah bahkan setelah pemimpin tersebut tidak ada, ataupun telah lama meninggalkan dunia ini, semangat dan nilai kepemimpinannya masih dapat dirasakan. Disinilah, seorang pemimpin dapat menginspirasi seseorang dengan nilai-nilai serta filosofi hidup yang dimilikinya. Seperti kisah kita di awal tulisan ini, seorang pemimpin di level ini mulai menginspirasi melalui karakter, nilai-nilai maupun perbuatan yang tiak diucapkannya. Tetapi, seorang orang pada akhirnya akan melihatnya.
          Menurut John Maxwell, tidak banyak pemimpin yang bisa sampai di level kepemimpinan ini. Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh kepemimpinan yang termasuk di kategori ini. Boleh saja, ada orang yang membencinya hingga akhirnya ia ditembak mati. Tetapi, nilai dan filosofi hidupnya justru tetap tumbuh dan berkembang, jauh hari setelah ia meninggal. Dan itulah contoh kepemimpinan di level tertinggi ini.

Alexander The Great, atau yang lebih dikenal juga dengan nama Iskandar Zulkarnain, adalah raja Romawi yang sangat terkenal dengan kepemimpinannya.
Suatu waktu Alexander The Great memimpin pasukannya melintasi gurun pasir yang panas dan kering. Setelah hampir dua minggu berjalan, ia dan pasukannya kelelahan dan hampir mati karena kehausan. Tetapi Alexander tetap memimpin pasukannya untuk terus berjalan penuh semangat.
Pada siang yang terik, dua orang pasukannya datang menemui Alexander dengan membawa semangkuk air yang mereka ambil dan sebuah kolam air yang telah kerontang. Kolam air itu kering dan hanya ada sedikit air yang tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh pasukan. Melihat hal ini, Alexander membuang air itu ke gurun pasir.
Sang Raja berkata, ‘Tidak ada gunanya bagi seseorang untuk minum di saat banyak orang sedang kehausan!

Demikianlah kepemimpinan itu. Anda tidak bisa memperlakukan orang-orang anda hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan anda. Anda harus menunjukkan ketulusan dan keteguhan diri anda dengan sama-sama merasakan apa yang orang-orang anda rasakan.

Sumber Tulisan:
Palimirma,  www.managementfile.com
Anthony Dio Martin, Managing Director HR Excellency,  www.hrexcellency.com








22 komentar:

  1. hmm...sulit jadi pemimpin ya.

    BalasHapus
  2. saya baru tahu, ternyata menjadi pemimpin, bukan sekedar pemimpin tetapi harus memahami betul ke lima level diatas....
    setidaknya menjadi bekal di hari esok... hehehe..

    Thankx atas ilmunya....

    BalasHapus
  3. @Sang Cerpenis bercerita:
    Mudah-mudahan masih mampu memimpin diri sendiri.

    Thanks.

    BalasHapus
  4. @Dhikx89's:
    Benar-benar berat menjadi pemimpin. Setiap kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai tanggung jawab.

    Salam Takzim.

    BalasHapus
  5. ternyata nggak mudah jadi pemimpin!!!!

    BalasHapus
  6. @Aa Pratama:
    Kenyataannya, banyak yg mencalonkan diri jadi pemimpin, bahkan siap menggelontorkan hartanya.

    BalasHapus
  7. Kebanyakan yang pengen jadi pemimpin hanya melangkah tanpa berpikir secara matang terlebih dulu, mereka hanya ingin uang rakyat saja sewaktu jadi pemimpin.

    BalasHapus
  8. Sya belom siap kalo di suruh jadi pemimpin sekarang, mungkin kalo nanti insya allah siap, pasti ada saatnya B)

    BalasHapus
  9. @SHUDAI AJLANI (dot) COM:
    Semoga anda siap pada waktunya. Dan mampu menjaga amanah yang diemban.

    Salam Takzim.

    BalasHapus
  10. Setuju sekali. Pemimpin yang adil seharusnya peka terhadap segala permasalahan yang terjadi disekelilingnya

    BalasHapus
  11. Saya juga prihatin dengan apa yang menimpa bangsa ini. Kepemimpinannya tidak tegas untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat banyak. Terbukti dengan tidak seriusnya dalam menangani dan menumpas korupsi yg merajalalela. Seharusnya ketika terpilih menjadi pemimpin maka harus segera melaksanakan amanat dari rakyat banyak

    BalasHapus
  12. Ehm.. sulit juga jadi pemimpin.. tapi kok banyak yang mau yach.. malah sampai maen sikut kiri sikut kanan.. hehehe


    maaf kalo boleh saya ibaratkan.. mereka bukannya pada mengejar korsi..

    tapi pada lagi mengejar neraka.. kalo mereka tidak bisa menjalankan amanahnya..

    BalasHapus
  13. waduh klo gua belum gimanaaa gitu mikirin yang berat2 gini. Yang penting udah bisa jadi pemimpin buat diri sendiri, memerintahkan diri sendiri buat nggak melakukan hal2 sinting, itu sudah merupakan kepempinan yang sukses kan :D

    BalasHapus
  14. @CORETAN HIDUP:
    Setuju dengan pendapat anda.
    terima kasih.

    BalasHapus
  15. @Ifan Jayadi:
    Kita selalu mimilih yang dalam karung, belum teruji. Yang penting balik modal dulu.

    Terima kasih Mas Ifan.

    BalasHapus
  16. @Opick Amikom:
    Saya tidak berani komentar seperti anda.
    Terima kasih.

    BalasHapus
  17. @[L]ain:
    Setuju-setuju, yang penting bisa memimpin diri sendiri dulu.

    Terima kasih.

    BalasHapus

Pembaca yang BUDIMAN, Sudilah kiranya Anda meninggalkan pesan/komentar terkait artikel yang Anda baca, atau mengenai Blog ini. Terima kasih dan Salam Takzim.

Artikel Terkait