Kamis, 30 Juni 2011

Guru Kencing Berlari, Murid Nggak Bisa Kencing Lagi ?

[Baguserek]  Seorang teman mengirimkan sebuah artikel yang diperolehnya dari website Kementrian Pendidikan Nasional cq. Dirjen Dikti,  dengan judul “Guru Besar Anomali”, yang ditulis oleh Prof. Ronny Rachman Noor, Ir, MRur.Sc, PhD, Research and Community Services Institute – IPB.  Tertarik dengan judulnya, saya baca dengan cermat artikel tersebut. Sambil membaca tanpa terasa kepala ikut menggeleng-geleng ke kiri dan ke kanan, karena takjub. “Ini penting untuk diketahui, bukan saja olehku tapi juga yang lain, termasuk komunitas blogger”, seru saya dalam hati. Akhirnya saya putuskan untuk saya share di sini, selengkapnya silahkan baca!

Dalam UU Republik Indonesia no. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen,  disebutkan bahwa  Guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan pendidikan tinggi. Selanjutnya tercantum pula bahwa Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi  yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.

Kata Jabatan fungsional dan jabatan akademik tertinggi, tidak saja bermakna sebagai pengakuan prestasi akedemik, akan tetapi tersimpan makna yang paling dalam, yaitu “keteladanan”.    Makna keteladanan ini tidak saja menyangkut prestasi akademik, akan tetapi juga menyangkut “norma dan moral”.  Seseorang yang telah menyandang  jabatan fungsional tentunya telah meniti karir  dan melakukan kegiatan  tridharma, yang meliputi pendididkan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam kurun waktu yang cukup lama.   Sederetan persyaratan tentunya sudah dipenuhinya, antara lain memiliki kualifikasi akademik Doktor.  Selain itu, calon Guru Besar harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan - perundangan yang berlaku.

Sebagai penghargaan atas kecermelangan karirnya tersebut, sejak Januari 2008, pemerintah memberikan sertifikasi otomatis kepada guru besar yang telah memiliki gelar doktor sehingga gajinya ditambah dengan satu kali gaji pokok. Mulai Januari 2009, para guru besar mendapatkan tunjangan kehormatan profesor  yang nilainya sebesar dua kali gaji pokok.

Pada awal karir seorang dosen  tentunya pernah terkilas dipikirannya bahwa suatu kelak nanti dia berharap dapat mencapai jabatan akademik tertinggi. Sayangnya dalam mencapai cita cita tersebut masih ada segelintir dosen yang seharusnya menjadi suri teladan, melakukan tindakan anomali  yang tidak sesuai dengan magna dan  norma yang melekat pada predikat Guru Besar yang akan diraihnya.

Temuan di lapangan masih menunjukkan bahwa dalam pengusulan Guru Besar masih ada tindakan  anomali yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai jabatan fungsional tertinggi tersebut.  Pada suatu saat  salah satu Tim Penilaian Angka Kredit mengevaluasi berkas pengusulan Guru Besar dan secara insting dia merasa bahwa ada yang kurang beres dengan publikasi hasil penelitian si pengusul.  Penerbit Jurnal internasional tempat karya ilmiah si pengusul diajukan tampak asing baginya, walaupun karya ilmiah tersebut dicetak dengan kelas cetakan dan kertas mewah sekelas penerbit Elsevier.  Dari keraguan ini selanjutnya dilakukan investigasi dengan cara mengunjungi alamat Jurnal Internasional tersebut.  Hasilnya? Alamat penerbit tidak ditemukan dan yang ada hanya komplek pertokoan.  Hal ini mengindikasikan bahwa si pengusul memalsukan berkas karya ilmiahnya dengan cara mencetaknya sendiri.

Ada juga kasus lain, dimana secara kebetulan salah seorang Guru Besar yang membimbing Doktor menemukan karya ilmiah bimbingannya yang sama sekali tidak mencantumkan nama beliau sebagai salah satu penulis, padahal beliau pembimbing utama dan disertasinya merupakan karya pemikiran bersama.  Alasan si penulis  melakukan tidakan yang kurang terpuji ini  adalah si pembimbing sudah Guru Besar dan tidak memerlukan  angka kredit lagi.  Ternyata karya ilmiah yang telah direkayasa dengan menghilangkan nama pembimbingnya tersebut diajukan sebagai salah salah satu publikasi ilmiah utama dalam pengajuan Guru Besarnya.  Apapun alasannya tindakan ini merupakan salah satu bentuk anomali yang mengarah kepada ketidakjujuruan ilmiah.

Kasus lain yang akhir akhir ini menggejala adalah mencapai gelar doktor tanpa proses belajar mengajar yang normal.  Secara administrasi ijasah yang didapat  memang asli dan resmi, akan tetapi secara proses belajar sama sekali tidak memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Doktor.  Program ini banyak ditawarkan oleh Negara tetangga dekat kita.  Petanyaan yang muncul dalam benak kita adalah bagaimana mungkin seseorang mendapatkan gelar Doktor yang notabene gelar akademik tertinggi tanpa melewati suatu program yang intensif.  Dalam masa studinya yang 2-4 tahun tersebut  sang dosen secara kumulatif  berada di Negara  yang bersangkutan hanya tidak lebih dari 2 bulan saja.  Ini berarti bahwa pada awal mendaftar beliau datang beberapa hari, dipertengahan studi datang beberapa hari dan mengikuti ujian akhir dan wisuda beberapa hari saja.  Bahkan beberapa diantaranya melakukan seminar proposalnya di Universitas asalnya dengan hanya dihadiri sesama dosen koleganya.  Semua korespondensi dilakukan hanya melalui email.  Pada kasus yang lebih ekstrim ada dosen yang walaupun ijasahnya disebutkan berasal dari Negara lain, akan tetapi selama proses belajarnya tidak penah belajar dan mengunjungi Negara yang bersangkutan.  Dapatkah kita membayangkan apa yang akan terjadi apabila sang Doktor yang diraihnya dengan cara seperti ini telah mencapai jabatan Guru Besar tersebut  membimbing mahasiswa? Wawasan ilmiah apa yang yang dia akan berikan kepada mahasiswanya?

Seperti yang telah diuraikan di atas sebutan dan jabatanya Guru Besar itu merupakan akumulasi dari proses yang sangat panjang.  Dalam prosesnya, ada dosen yang dapat dengan cepat menggapainya ada pula yang mendapatkannya nyaris diujung masa baktinya. Dalam mencapainya ada empat kategori, yaitu:

1.     Kelompok Pertama adalah Guru Besar yang dicapai dengan ‘segala cara’, karena Guru Besar bagi orang tersebut merupakan tujuan akhir yang harus dicapai. Konon pula dosen yang tergolong dalam kategori ini setelah mendapatkan guru besar dia akan frustasi karena ternyata ‘respect’ terhadap dirinya sebagai seorang guru besar dari orang sekitarnya dan harapan-harapan yang melekat dengan guru besarnya tersebut tidak seperti yang dia harapkan dan sebelumnya. Bahkan muncul gunjingan dan ungkapan dari lingkungan sekitarnya seperti: ‘orang seperti itu kok bisa ya jadi guru besar? Orang ini sering diungkapkan sebagai Guru Besar  GBHN (Guru Besar Hanya Nama).  Keberadaan Guru Besar ini di unit kerjanya dirasakan sebagai kegerahan yang luar biasa bagi kolega dan sama sekali bukan merupakan kebanggaan unit kerjanya. 

2.  Kelompok Kedua adalah Guru Besar yang dicapai atas dasar prestasi cemerlangnya dalam tridarma pergurunan tinggi .  Guru Besar kelompok ini sering disebut sebagai Guru Besar GBPP  (Guru Besar Pencapaianya melalui Prestasi). Konon Guru Besar dalam kelompok ini sering mendapat pujian seperti : ‘hebat ya masih muda sudah Guru Besar dan prestasinya dapat dijadikan panutan’ atau ‘hebat ya bapak-ibu itu, dia Guru Besar yang sangat berwibawa dan produktif’ Karena Guru Besarnya bukan merupakan tujuan akhir, maka setelah mendapat Buru Besar nya pun dia terus menunjukkan prestasi gemilangnya.  Bisanyanya Guru Besar ini dijadikan kebanggaan bagi unit kerjanya dan mahasiswa berbondong bondong antri untuk meminta beliau menjadi pembimbing.

3.    Kelompok Ketiga adalah dosen yang Belum Guru Besar, tapi prestasi tridharmanya melebihi Guru Besar.  Kelompok ini sering disebut  dosen B-GBPP  ( Belum Guru Besar tapi Penuh Prestasi). Orang di sekitarnya sering sekali sudah menganggap dia sebagai Guru Besar karena kepakarannya. Biasanya orang ini kalau saja mau meluangkan waktu sebentar untuk mengajukan kenaikkan pangkat maka sudah dapat dipastikan dia akan memperoleh gelar Guru Besar.  Kelompok ini sering beranggapan bahwa secara moral dirinya masih belum pantas menjadi Guru Besar. Kalau sudah dirasa pantas, baru kemudian dia mengajukan Guru Besarnya

4.    Kelompok Keempat adalah orang sekaliber Guru Besar prestasinya, tapi dia tidak pernah perduli dengan urusan kenaikan pangkatnya termasuk mengurus Guru Besarnya.  Kelompok ini  beranggapan bahwa Guru Besar merupakan suatu penghargaan atas prestasi seorang dosen. Oleh karena itu,  Institusi lah yang berkewajiban mengurus dan memberikan penghargaan tersebut kepadanya, bukan dia yang harus mengusahakannya. Kelompok ini sering diistilahkan KaGB (Kelompok acuh Guru Besar).

Jadi ingat kembali kasus contek masal di Surabaya, kasus Alif, siswa SDN Gadel II, yang disuruh memberikan jawaban UN pada teman-temannyaHal mana menyebabkan orangtuanya diusir dari lingkungan mereka tinggal. Demikian juga Irma Winda Lubis, yang merupakan wali murid siswa SD 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatanyang sampai mengadukan masalahnya ke Komnas Perlindungan Anak (KPA) karena kasus yang hampir sama.



“Lha kalo’ gurunya aja sudah kencing sambil berlari, bagaimana muridnya? Apakah mereka sudah tidak boleh kencing lagi? Atau kencing dari atas kendaraan bermotor?” tanyaku lirih.

Di akhir tulisannya Prof. Ronny berkata, “Mari kita merenung sejenak, termasuk kelompok manakah kita? Semoga kita tidak masuk ke dalam kelompok anomali  yang tanpa kita sadari telah meracuni generasi penerus bangsa”.






13 komentar:

  1. Very like this... :-D *Selalu ada beban moral pada sesuatu yang melekat* :-)

    BalasHapus
  2. Assalaamu'alaikum wr.wb, mas Bagus....

    Saya juga terkesan dengan tulisan di atas. Hal ini juga berlaku di Malaysia seperti apa yang ditulis pada:

    Program ini banyak ditawarkan oleh Negara tetangga dekat kita. Petanyaan yang muncul dalam benak kita adalah bagaimana mungkin seseorang mendapatkan gelar Doktor yang notabene gelar akademik tertinggi tanpa melewati suatu program yang intensif.

    Malah saya sendiri tidak setuju jika tidak ada kursus intensif untuk belajar di peringkat kedoktoran. Pengalaman yang saya lalui memperlihatkan calon doktor ini kurang mantap dalam menghasilkan penelitian mereka.

    Membaca sebahagian thesis mereka ketika dijadikan sumber rujukan semasa di S2 ,UKM dulu, banyak yang boleh dipertikaikan hasilannya lantaran cara kursus demikian. Sebaiknya paling kurang 2 semester calon doktor menghadiri kelas bagi belajar statistik dan kaedah penyelidikan di samping mereka boleh berbincang dengan penyelia pembimbing setiap masa. Bukannya "berbincang" melalui email atau hadir sekali sekala.

    Namun begitu, kini perkembangan terbaru sedang menunjang ke arah yang lebih sistematik dalam kuliah kedoktoran di Malaysia dimana sudah banyak universiti yang mewajibkan kuliah untuk calon doktor seperti Universiti Malaya, Universiti Putra Malaya dan banyak lagi. Hal ini sesuai dengan perubahan sistem pendidikan yang disasarkan dalam PIPP.

    Semoga para intelektual di peringkat atasan ini harus sedar akan peranan dan tugas mereka yang sebenarnya. Jadi malu juga mengetahui, jika ada yang meraih ijazah doktornya dengan melakukan palagiat atai menipu. Masya Allah. Bagaimana mahu menghasilkan pelajar yang berdedikasi tinggi kalau gurunya tidak tahu menghargai ilmu.

    Salam hormat dari Sarikei, Sarawak.
    SITI FATIMAH AHMAD

    BalasHapus
  3. Salam alaikum, Mas Bagus.. ya, saya setuju dengan postingan ini; dengan apa yang dilontarkan Mbak Siti Fatimah Ahmad {sejak awal saya menduga ini saudara dari Malayia, rupanya benar..dan ternyata Mbak Fatimah :D }

    Situasi yang memprihatinkan juga terjadi pada sertifikasi guru. Di tempat saya bekerja, kepala kantor dengan seenaknya membuatkan istrinya (kebetulan seorang guru) sertifikat2 fiktif sebagai penunjang persyaratan sertifikasi. Parah 'kan?! tidak dipikirnya itu akan menjadi rezeki haram tiap bulan..nauzubillah..

    BalasHapus
  4. @Anonim
    Alaikumsalam wr wb, Mbak Anonim yang ternyata Mbak Fatimah, heheheh

    Saya punya kawan chats seorang Master lulusan Universiti Putera Malaya.. memang tampaknya kualitas UPM bagus ya.. ^^

    BalasHapus
  5. @Rosid:
    Om Rosid, terima kasih dan selamat ya http://ROSID.NET dapat PR3 dari update PageRank kemarin.

    Keep Spirit, Bro.
    Salam Takzim.

    BalasHapus
  6. @Siti Fatimah Ahmad:
    Wa 'alaiki 'alaikum salam.
    Senang dan bangga bisa mendapat kehormatan blog saya dikunjungi dan diberi komentar yang sangat bermanfaat oleh Ibu Siti Fatimah Ahmad yang mempunyai blog di http://webctfatimah.wordpress.com.

    Benar adanya apa yang Ibu kemukakan, di Indonesia gelar merupakan tujuan yang banyak dicari, walaupun dengan cara2 yang kurang patut.

    Tercatat beberapa Institusi dan Lembaga pendidikan memberikan gelar doktor kepada para pejabat dan tokoh masyarakat. Hal ini dilakukan agar institusi atau lembaganya mendapatkan nama dengan iklan gratis tokoh dan pejabat tersebut.

    Bukan hanya di Malaysia, tetapi juga di Philipine dan Thailand termasuk di Indonesia yang membuka program demikian. Bagaimana prgram Pasca Sarjana ini dilakukan dengan metoda Distance Learning. Program yang ditawarkan biasanya berbasis pada Degree by Course dimana mahasiswa bersangkutan tidak perlu melakukan penelitian, hanya perlu melulusi mata kuliah yang ditawarkan.

    Demikian juga apa yang dikatakan oleh Akhi Muxlimo, beberapa kawan saya juga menempuh "Jalur Khusus" untuk meningkatkan akreditasi fungsional lecturer-nya.

    Kesadaran bukan hanya harus tumbuh pada mahasiswa, tetapi juga semua anasir yang terlibat. Pengalaman ketika menjadi Dosen, sangatlah musykil mempunyai idealisme seorang diri tanpa dukungan sejawat lainnya.

    Salam Takzim.

    BalasHapus
  7. @MUXLIMO:
    Akhi Muxlimo, itulah kondisi negara kita, pada akreditasi seperti yang saya utarakan pada reply untuk Ibu Siti Fatimah Ahmad. Dengan membayar sejumlah uang, maka si penerima jasa akan menyiapkan semuanya, termasuk karya ilmiah atas nama Dosen yang bersangkutan. Padahal si Dosen yang meminta jasa tersebut tidak pernah menulis karya ilmiah. Atau bahkan mungkin, dia memang benar2 tidak punya kemampuan untuk membuat karya ilmiah! memprihatinkan!

    Kerja keras dan kesadaran semua pihak harus ditumbuhkan untuk ini, bila tidak dunia pendidikan kita akan terus merosot.

    Wallahu a'lam bish showab.
    Salam Takzim.

    BalasHapus
  8. jadilah pemimpin dan contoh yang baik bagi muridnya,,jangan malah melakukan hal yang sangat negativ bagi jabatan seorang guru,,

    BalasHapus
  9. @xamthoneplus:
    Setuju sekali, pepatah yang ada mengatakan Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari. Tapi bila gurunya sudah Kencing Berlari, bagaimana muridnya??

    Guru, digugu lan ditiru (didengar wejangannya dan dijadikan teladan)

    Salam Takzim

    BalasHapus
  10. Komentarornya seru2.. ngebahas masalah sekolah..

    saya gak ngerti masalah gitu gituan mas...

    tapi yang jelas artikelnya mantap..

    Update terus artikelnya mas... Walaikumsalam..

    BalasHapus
  11. Ouh ya mas.. ada yang ketinggalan..

    Headernya pernah saya pake.. heheheh

    BalasHapus

Pembaca yang BUDIMAN, Sudilah kiranya Anda meninggalkan pesan/komentar terkait artikel yang Anda baca, atau mengenai Blog ini. Terima kasih dan Salam Takzim.

Artikel Terkait