Selasa, 03 Mei 2011

Buta dan Pelita

[baguse-rek]   “Mati Lampu”, seru kami bersahutan.
Dalam gelap akupun lantas berpikir, kenapa kita menggunakan kosakata ‘mati lampu’. Setahuku karena kita menganut system DM, maka seharusnya ‘Lampu Mati’ bukannya ‘Mati Lampu’. Kecuali kalau ngikut Bhs Inggris, semisal ‘sepatu merah’ maka Inggrisnya ‘red shoes’. “Betul, tidak?”

Nah sekarang kita juga tambah bingung, bukannya sudah dari dulu lampu merupakan benda mati, atau apakah karena biasanya hidup/nyala dan tatkala mati kita sontak berkata,”yaa, lampu mati?”
Justru kenapa ketika lampu itu mati alias tidak menyala disiang hari kita hanya menyebutnya dengan lampu saja, bukannya ‘Lampu mati’?


Atau, bila PLN mengumumkan, maka berbunyi “AKAN DILAKUKAN PEMADAMAN LISTRIK BERGILIR.” Lho, bukannya yang biasa dipadamkan adalah yang menyala, seperti lampu atau api, untuk itu kita mengenal ‘Pemadam kebakaran’. Apakah di PLN ada ‘Pemadam ke-listrik-an’???
Kenapa bukan dikatakan pemutusan aliran listrik??

Anehnya, bila anda terlambat bayar alias nunggak, maka anda akan menerima peringatan “bila tidak segera dilunasi, amaka akan dilakukan ‘pemutusan’ sambungan listrik anda. Menurut anda yang diputus, listriknya atau alirannya???
Bingung kan?

Sekarang silahkan anda simak cerita berikut ini:

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya.Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata: "Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok."
 Dengan lembut sahabatnya menjawab, "Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu." Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut.
 Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
 ***
Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, "Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!" Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!"
 Si buta tertegun…. Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta."
 Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya." Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.
***
Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita. Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah pelita saya padam?"
Penabraknya menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama."
Senyap sejenak… secara berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang buta?"
Secara serempak pun mereka menjawab, "Iya…," sembari meledak dalam tawa.
Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.
***
Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. 
Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta.
Timbul pikiran dalam benak orang ini, "Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."
***

PESAN:
Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!).

Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.

Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun mereka bisa melihat.

Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.

Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.

Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.

Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita. Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan:

“Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi.”




2 komentar:

  1. nice note pak....
    Semoga bisa menjadi pelita bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar....

    ijin share lagi ya pak......

    BalasHapus
  2. @intan:
    Thanks bu intan, insya Allah do'anya di-ijabah Allah, kita berdua mendapatkan pelita itu.

    Salam takzim

    BalasHapus

Pembaca yang BUDIMAN, Sudilah kiranya Anda meninggalkan pesan/komentar terkait artikel yang Anda baca, atau mengenai Blog ini. Terima kasih dan Salam Takzim.

Artikel Terkait